Abdurrahman Bin Auf Dan Abidzar Al-Ghifari
MAKALAH
AQIDAH AKHLAK
MENGENAI ABDURRAHMAN BIN AUF DAN ABIDZAR Al-GHIFARI
USMAN
SIREGAR
XI
IPA I
MADRASAH ALIYAH
NEGERI INSAN CENDEKIA
OGAN KOMERING
ILIR
Jln.Lintas
Timur Desa Seriguna Kecamatan Teluk Gelam, Kab.OKI
NSM :
131116020003 E-Mail : manickayuagung@kemenag.go.id
Tahun
2017
Kata
pengantar
Assalamualiakum.wr.wb
Puji
syukur penulis haturkan kepada Allah SWT yang gelah melimpahkan segla nikmat
dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah aqidah
akhladengan mengangkat sebuah judul “Abdurrahman bin auf dan abidzar al-ghifari”
Selama
penulis membuat makalah ini tak jarang penulis menemukan sebuah masalah yang membuat penulis
sedikit membutuhkan waktu untuk menyelesaikan makalah ini. Adapun masalah
yangpenulis hadapi dalam penulisan ini adalah kurangnya waktu karena banyaknya
tugas lain maupun ulangan yang penulis hadapi yang mana deathlinenya lebih dekat, selain itu karena terbatasnya fasilitas
wi-fi dalam pencarian sumber, serta terlalu banyaknya sumber yang mana berisi
informasi yang sedikit berbeda satu dengan yang lain sehingga membuat penulis
kebingungan.
Tentunya
dalam penulisan ini adanya keterlibatan pihak lain yang membantu penulis dalam
penyelesaian makalah ini, yakni berupa nformasi yang dberikan oleh teman-teman
seputar makalah tersebut. Untuk itu penulis meminta kepada guru maupun pembaca
untuk mengkrikitik makalah tersebut, terutama kekuranganya agar penulis dapat
menulis lebih baik lagi untuk kedepannya.
Sekian
yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua. terimakasih
A.
ABDURRAHMAN
BIN AUF
1.
Biografi
Abdur
Rahman ibn Auf (Bahasa Arab: عبد الرحمن بن عوف) atau nama
sebenar beliau Abu Amr merupakan
seorang sahabat
Nabi yang terkenal.
Beliau telah menggunakan nama Abdur Rahman selepas memeluk Islam, dua hari selepas Abu Bakar memeluk Islam.
Beliau berasal daripada
keturunan Bani Zuhrah. Beliau lahir pada tahun 580 Masihi di Makkah iaitu
sepuluh tahun selepas Tahun Gajah. Beliau memeluk Islam melalui saidina Abu
Bakar r.a. Beliau wafat pada tahun 32 Hijrah bersamaan tahun 654 Masihi ketika
berumur 74 tahun.Ia adalah salah seorang dari delapan orang pertama (As-Sabiqunal
Awwalun) yang
menerima agama Islam, yaitu dua hari setelah Abu Bakar.
Abdurrahman bin Auf berasal dari Bani Zuhrah. Salah seorang sahabat Nabi lainnya,
yaitu Sa'ad
bin Abi Waqqas,
adalah saudara sepupunya. Abdurrahman juga adalah suami dari saudara seibu Utsman bin Affan, yaitu anak perempuan dari Urwa bint
Kariz (ibu Utsman) dengan suami keduanya.Kaum muslimin pada umumnya menganggap
bahwa Abdurrahman adalah salah seorang dari Sepuluh Orang yang Dijamin Masuk
Surga.
2.
Kisah
hidup serta kedermawannanya
Adalah sosok
yang sangat bersegera dalam berinfak. Dialah Abdurrahman bin ‘auf, putih
kulitnya, lebat rambutnya, banyak bulu matanya, mancung hidungnya, panjang gigi
taringnya yang bagian atas, panjang rambutnya sampai menutupi kedua telinganya,
panjang lehernya, serta lebar kedua bahunya. Dia adalah sahabat yang pandai
berdagang dan sangat ulet. Maka mulailah ia menjual dan membeli. Selang
beberapa saat ia sudah mengumpulkan keuntungan dari perdagangannya.
Disamping itu,
ia juga sosok pejuang yang pemberani. Ia mengikuti peperangan-peperangan
bersama Rasulullah. Pada waktu perang Badr, ia berhasil membunuh salah satu
dari musuh-musuh Allah, yaitu Umair bin Utsman bin Ka’ab At Taimi.
Keberaniannya juga nampak tatkala perang Uhud, medan dimana banyak diantara kaum
muslimin yang lari, namun ia tetap ditempatnya dan terus berperang Sehingga
diriwayatkan, ia mengalami luka-luka sekitar dua puluh sekian luka. Akan tetapi
perjuangannya di medan perang masih lebih ringan, jika dibanding dengan
perjuangannya dalam harta yang dimilikinya.
Keuletannya
berdagang serta doa dari Rasulullah, menjadikan perdagangannya semakin
berhasil, sehingga ia termasuk salah seorang sahabat yang kaya raya. Kekayaan
yang dimilikinya, tidak menjadikannya lalai. Tidak menjadi penghalang untuk menjadi
dermawan.
Diantara
kedermawanannya, ialah tatkala Rasulullah ingin melaksanakan perang Tabuk.
Yaitu sebuah peperangan yang membutuhkan banyak perbekalan. Maka datanglah
Abdurrahman bin ‘Auf dengan membawa dua ratus ‘uqiyah emas dan menginfakkannya
di jalan allah. Sehingga berkata Umar bin Khattab, ”Sesungguhnya aku melihat,
bahwa Abdurrahman adalah orang yang berdosa karena dia tidak meninggalkan untuk
keluarganya sesuatu apapun.” Maka bertanyalah Rasulullah kepadanya, ”Wahai
Abdurrahman, apa yang telah engkau tinggalkan untuk keluargamu?” Dia menjawab,
”Wahai Rasulullah, aku telah meninggalkan untuk mereka lebih banyak dan lebih
baik dari yang telah aku infakkan.” ”Apa itu?” tanya Rasulullah. Abdurrahman
menjawab, ”Apa yang dijanjikan oleh allah dan RasulNya berupa rizki dan
kebaikan serta pahala yang banyak.”
Suatu ketika
datanglah kafilah dagang Abdurrahman di kota Madinah, terdiri dari tujuh ratus
onta yang membawa kebutuhan-kebutuhan. Tatkala masuk ke kota Madinah,
terdengarlah suara hiruk pikuk. Maka berkata Ummul Mukminin, ”Suara apakah
ini?” Maka dijawab, ”Telah datang kafilah Abdurrahman bin ‘Auf.” Ummul Mukminin
berkata, ”Sungguh aku mendengar Rasulullah bersabda, ‘Aku melihat Abdurrahman
masuk surga dengan keadaan merangkak’.” Ketika mendengarkan berita tersebut,
Abdurrahman mengatakan, ”Aku ingin masuk surga dengan keadaan berdiri. Maka
diinfakkanlah kafilah dagang tersebut.”
Beliau juga
terkenal senang berbuat baik kepada orang lain, terutama kepada Ummahatul
Mukminin. Setelah Rasulullah wafat, Abdurrahman bin Auf selalu berusaha untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka. Mneyertainya apabila mereka berhaji, yang
ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri bagi Abdurrahman. Dia juga pernah
memberikan kepada mereka sebuah kebun yagn nilainya sebanyak empat ratus ribu.
Puncak dari
kebaikannya kepada orang lain, ialah ketika ia menjual tanah seharga empat
puluh ribu dinar, yang kemudian dibagikannya kepada Bani Zuhrah dan orang-orang
fakir dari kalangan muhajirin dan Anshar. Ketika Aisyah mendapatkan bagiannya,
ia berkata, ”Aku mendengar Rasulullah bersabda, tidak akan memperhatikan
sepeninggalku, kecuali orang-orang yang bersabar. Semoga Allah memberinya air
minum dari mata air Salsabila di surga.”
Diantara
keistimewaan Abdurrahman bin Auf, bahwa ia berfatwa tatkala Rasulullah masih
hidup. Rasulullah juga pernah shalat di belakangnya pada waktu perang tabuk.
Ini merupakan keutamaan yang tidak dimiliki orang lain. Abdurrahman bin Auf,
juga termasuk salah seorang sahabat yang mendapatkan perhatian khusus dari
Rasulullah. Terbukti tatkala terjadi suatu masalah antara dia dan Khalid bin
Walid, maka Rasulullah bersabda, ”Wahai Khalid, janganlah engkau menyakiti
salah seorang dari Ahli Badr (yang mengikuti perang Badr). Seandainya engkau
berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka tidak akan bisa menyamai
amalannya.”
Disamping
memiliki sifat yang pemurah dan dermawan, ia juga sahabat yang faqih dalam
masalah agama. Berkata Ibnu Abbas: Suatu ketika kami duduk-duduk bersama Umar
bin Khattab. Maka Umar berkata, ”apakah engkau pernah mendegnar hadits dari
Rasulullah yang memerintahkan seseorang apabila lupa dalam shalatnya, dan apa
yang dia perbuat?”
Aku menjawab,
”Demi Allah, tidak pernah wahai Amirul Mukminin. Apakah engkau pernah
mendengarnya?” Dia menajawab, ”Tidak pernah, demi Allah.” Tatkala kami sedang
demikian, datanglah Abdurrahman bin Auf dan berkata, ”Apa yang sedang kalian
lakukan?” Umar menjawab, ”Aku bertanya kepada Ibnu Abbas,” kemudian ia
menyebutkan pertanyaannya. Abdurrahman berkata, ”aku pernah mendengarkan
tentang hal itu dari Rasulullah.” Apa yang engkau dengar wahai Abdurrahman?”
Maka ia menjawab, ”Aku mendengar Rasulullah bersabda, apabila lupa salah
seorang diantara kalian di dalam shalatnya, sehingga tidak tahu apakah ia
menambah atau mengurangi, apabila ragu satu raka’at atau dua raka’at, maka
jadikanlah satu raka’at, dan apabila ia ragu dua raka’at atau tiga raka’at,
maka jadikanlah dua raka’at, dan apabila ia ragu tiga raka’at atau empat
raka’at, maka jadikanlah tiga raka’at, sehingga keraguannya di dalam menambah,
kemudian sujud dua kali dan dia dalam keadaan duduk sebelum salam, kemudian
salam.”
3.
Wafat
Abdurrahman bin Auf meninggal pada tahun 31H, dalam
pendapat lain disebutkan pada tahun 32H ketika berumur 75tahun. Dalam pendapat
lain disebutkan berumur 72tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi' yang
diimami oleh Utsman berdasarkan wasiatnya. Diriwayatkan oleh Ibnu al-Najjar di
dalam kitab Akhbar al-Madinah dengan sanadnya dari Abdurrahman bn Humaid dari
Bapaknya berkata: ketika ajal hendak menjemputnya Aisyah mengirimkan seseorang
kepadanya supaya dikuburkan di sisi Rasulullah s.a.w. dan kedua saudaranya,
maka ia menjawab: saya tidak mau menyempitkan ruang rumahmu karena sesungguhnya
saya telah berjanji kepada Ibnu Maz'un siapa saja yang meninggal maka akan
dikuburkan di sisi sahabatnya dan dengan demikian makam Utsman bin Maz'un dan
Abdurrahman bin Auf berada di sisi qubah Ibrahim bin Nabi s.a.w.
4.
Kesimpulan
Abdurrahman
bin Auf termasuk garda terdepan penerima ketauhidan yang dibawa oleh Rasulullah Saw. Ia adalah
sahabat Abu Bakar dan termasuk orang kelima yang
di Islamkan olehnya. Sebagai seorang pengusaha, ia tidak apatus dengan
peperangan. Ia mendapatkan 20 hujaman dan giginya rontok dalam perang Uhud. Ia
menyadari, pengorbanan yang harus diberikan kepada Islam bukan hanya harta
tetapi juga jiwa.
Abu Dzar al Ghiffari sosok yang benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Abu Dzar al Ghiffari sosok yang benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
B.
ABIDZAR
AL-GHIFARI
1.
Biografi
Abu Dzar berasal dari suku Ghifar
(dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Ia memeluk Islam dengan sukarela, ia salah satu sahabat yang
terdahulu dalam memeluk Islam. Ia mendatangi Nabi Muhammad langsung ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya.
Setelah menyatakan
keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas
bin Abdul Muthalib,
ia dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang
yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh
pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.Orang-orang yang masuk Islam
melalui dia, adalah : Ali-al-Ghifari, Anis al-Ghifari, Ramlah
al-Ghifariyah.
Dia dikenal sangat setia
kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam
satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran
Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul
bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyayat. Dia
keletihan dan roboh di hadapan Nabi SAW. Namun Rasulullah heran kantong airnya
masih penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga
kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, "Di perjalanan saya
temukan mata air.
Saya minum air itu sedikit
dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu
lagi sebelum Nabi SAW meminumnya." Dengan rasa haru, Rasulullah berujar,
"Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan
meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak
akan mengurus pemakamanmu." Abu Dzar Al Ghifary, sahabat setia Rasulullah
itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.
2.
Sebelum
masuk islam
Tidak diketahui
pasti kapan Abizar lahir. Sejarah hanya mencatat, ia lahir dan tinggal dekat
jalur kafilah Mekkah, Syria. Riwayat hitam masa lalu Abizar tak lepas dari
keberadaan keluarganya.
Abizar yang
dibesarkan di tengah-tengah keluarga perampok besar Al Ghiffar saat itu,
menjadikan aksi kekerasan dan teror untuk mencapai tujuan sebagai profesi
keseharian. Itu sebabnya, Abizar yang semula bernama Jundab, juga dikenal
sebagai perampok besar yang sering melakukan aksi teror di negeri-negeri di
sekitarnya.
Kendati
demikian, Jundab pada dasarnya berhati baik. Kerusakan dan derita korban yang
disebabkan oleh aksinya kemudian menjadi titik balik dalam perjalanan hidupnya:
Insyaf dan berhenti dari aksi jahatnya tersebut. Bahkan tak saja ia menyesali
segala perbuatan jahatnya itu, tetapi juga mengajak rekan-rekannya mengikuti
jejaknya. Tindakannya itu menimbulkan amarah besar sukunya, yang memaksa Jundab
meninggalkan tanah kelahirannya.
Bersama ibu dan
saudara lelakinya, Anis Al Ghifar, Abizar hijrah ke Nejed Atas, Arab Saudi. Ini
merupakan hijrah pertama Abizar dalam mencari kebenaran. Di Nejed Atas, Abizar
tak lama tinggal. Sekalipun banyak ide-idenya dianggap revolusioner sehingga
tak jarang mendapat tentangan dari masyarakat setempat.
3.
Awal
masuk islam
Nama lengkapnya yang
mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan kuniahnya Abu
Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul
di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari
langit. Berita ini membuat penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik
kandungnya, Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri
adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab.
Setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Unais menjelaskan bahwa ia telah menemui seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan jelek. Orang tersebut adalah yang benar ucapannya.
Abu dzar semakin penasaran sehingga iapun pergi ke mekah, saat itu ia bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, kemudian Ali bin Abi Thalib mengajaknya pergi menemui rasulullah.
Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengankami”.
Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar.
Setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut. Unais menjelaskan bahwa ia telah menemui seseorang yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan jelek. Orang tersebut adalah yang benar ucapannya.
Abu dzar semakin penasaran sehingga iapun pergi ke mekah, saat itu ia bertemu dengan Ali bin Abi Thalib, kemudian Ali bin Abi Thalib mengajaknya pergi menemui rasulullah.
Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dengan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengankami”.
Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam: “Demi yang Mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar.
4.
Pelayanan
dhuafa dan pelurus penguasa
Semasa hidupnya, Abizar Al Gifari sangat dikenal sebagai
penyayang kaum dhuafa. Kepedulian terhadap golongan fakir ini bahkan menjadi
sikap hidup dan kepribadian Abizar. Sudah menjadi kebiasaan penduduk Giffar
pada masa jahiliah merampok kafilah yang lewat. Abizar sendiri, ketika belum
masuk Islam, kerap kali merampok orang-rang kaya. Namun hasilnya dibagi-bagikan
kepada kaum duafa. Kebiasaan itu berhenti begitu menyatakan diri masuk agama
terakhir ini.
Prinsip hidup sederhana dan peduli terhadap kaum miskin
itu tetap ia pegang di tempat barunya, di Syria. Namun di tempat baru ini, ia
menyaksikan gubernur Muawiyah hidup bermewah-mewah. Ia malahan memusatkan
kekuasaannya dengan bantuan kelas yang mendapat hak istimewa, dan dengan itu
mereka telah menumpuk harta secara besar-besaran. Ajaran egaliter Abizar
membangkitkan massa melawan penguasa dan kaum borjuis itu. Keteguhan prinsipnya
itu membuat Abizar sebagai 'duri dalam daging' bagi penguasa setempat.
Ketika Muawiyah membangun istana hijaunya, Al Khizra,
salah satu ahlus shuffah (sahabat Nabi SAW yang tinggal di serambi Masjid
Nabawi) ini mengkritik khalifah, "Kalau Anda membangun istana ini dari
uang negara, berarti Anda telah menyalahgunakan uang negara. Kalau Anda
membangunnya dengan uang Anda sendiri, berarti Anda melakukan 'israf'
(pemborosan)." Muawiyah hanya terpesona dan tidak menjawab peringatan itu.
Muawiyah berusaha keras agar Abizar tidak meneruskan
ajarannya. Tapi penganjur egaliterisme itu tetap pada prinsipnya. Muawiyah
kemudian mengatur sebuah diskusi antara Abizar dan ahli-ahli agama. Sayang,
pendapat para ahli itu tidak memengaruhinya.
Muawiyah melarang rakyat berhubungan atau mendengarkan
pengajaran salah satu sahabat yang ikut dalam penaklukan Mesir, pada masa
khalifah Umar bin Khattab ini. Kendati demikian, rakyat tetap berduyun-duyun
meminta nasihatnya. Akhirnya Muawiyah mengadu kepada khalifah Usman. Ia
mengatakan bahwa Abizar mengajarkan kebencian kelas di Syria, hal yang
dianggapnya dapat membawa akibat yang serius.
Keberanian dan ketegasan sikap Abizar ini mengilhami
tokoh-tokoh besar selanjutnya, seperti Hasan Basri, Ahmad bin Hanbal, Ibnu
Taimiyah, dan lainnya. Karena itulah, tak berlebihan jika sahabat Ali Ra,
pernah berkata: "Saat ini, tidak ada satu orang pun di dunia, kecuali
Abuzar, yang tidak takut kepada semburan tuduhan yang diucapkan oleh penjahat
agama, bahkan saya sendiri pun bukan yang terkecuali."
5.
Wafat
Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari
kalangan sesama para Shahabat Nabi
sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di
zaman pemerintahan Utsman
bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah
bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah
merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin
Utsman
bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya
dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman
dan tentu dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera
saja Abu Dzar menghadap Amirul Mu’minin
Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu’minin bahwa dia
dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul
Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau
: “Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah
aku untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”. Di
sanalah beliau wafat.
Saat wafat ia dikafani dengan jubah hasil pintalan ibu dari seorang pemuda Anshar. Saat bertemu Abu dzar, pemuda itu memiliki dua buah jubah, satu ada di kantong tas baju, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang dipakai.
Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”. Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya.
Saat wafat ia dikafani dengan jubah hasil pintalan ibu dari seorang pemuda Anshar. Saat bertemu Abu dzar, pemuda itu memiliki dua buah jubah, satu ada di kantong tas baju, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang dipakai.
Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”. Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya.
6.
Kesimpulan
Sejak menjadi orang
muslim, Abu Dzar al Ghiffari benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dengan
bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban untuk
menegakkan kebenaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit
memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan
manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasulullah Saw sebagai "cahaya terang benderang."
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain, namun ia pun tidak mau disesali orang lain. Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya, Abu Dzar benar-benar serius, keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Daftar pustaka
Komentar
Posting Komentar